BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Biografi Lawrence Kohlberg
Lawrence Kohlberg menjabat sebagai salah satu profesor di Universitas Chicago serta Universitas Harverd.
Lahir pada tanggal 25 oktober 1927 di Bronxville, New York , Amerika serikat
dan meninggal pada 19 Januari 1987 pada
usia 59 tahun. Ia terkenal karena karyanya dalam dunia pendidikan, penalaran
dan perkembangan moral. Merupakan pengikut Jean piaget, Karya Kohlberg
mencerminkan dan bahkan memperluas karya pendahulunya. Karyanya telah
dimodifikasi oleh sejumlah pakar seperti carol giligan. Kohlberg masuk ke
Universitas Chicago dengan nilai yang sangat tinggi sehingga hanya sedikit
mengambil mata kuliah untuk memperoleh gelar sarjana mudanya. Awalnya ia ingin
mengambil psikologi kimia namun, saat ia melihat Piaget ia menjadi tertarik
untuk mewawancara anank-anak dan remaja tentang masalah moral. Semua hasil
penelitiannya itu ditulis dalam disertasi doktoralnya(1958). Lawrence Kohlberg
lebih menekankan pada perkembangan moral anak dan remaja.
2.2 Pengertian Perkembangan Moral
Pengertian
perkembangan secara luas menunjukan pada keseluruhan proses perubahan dari
potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri
baru (rani,2001). Kohlberg (dalam Glover, 1997), mendefinisikan penalaran moral
sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap
kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Penalaran
moral dapat dijadikan prediktor terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada
situasi yang melibatkan moral. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Rest (1979) bahwa penalaran moral adalah konsep dasar yang dimiliki individu
untuk menganalisa masalah sosial-moral dan menilai terlebih dahulu tindakan apa
yang akan dilakukannya.
Menurut
Kohlberg (1981) penalaran moral adalah suatau pemikiran tentang masalah moral.
Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan melakukan suatu
tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai suatu struktur
bukan isi. Jika penalaran moral dilihat sebagai isi, maka sesuatu dikatakan
baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya tertentu,
sehingga sifatnya akan sangat relatif. Tetapi jika penalaran moral dilihat
sebagai struktur, maka apa yang baik dan buruk terkait dengan prinsip filosofis
moralitas, sehingga penalaran moral bersifat universal.
Penalaran
moral inilah yang menjadi indikator dari tingkatan atau tahap kematangan moral.
Memperhatikan penalaran mengapa suatu tindakan salah, akan lebih memberi
penjelasan dari pada memperhatikan perilaku seseorang atau bahkan mendengar
pernyataannya bahwa sesuatu itu salah (Duska dan Whelan, 1975).
Berdasarkan
uraian teori di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penalaran moral
adalah kemampuan (konsep dasar) seseorang untuk dapat memutuskan masalah
sosial-moral dalam situasi kompleks dengan melakukan penilaian terlebih dahulu
terhadap nilai dan sosial mengenai tindakan apa yang akan dilakukannya.
2.3
Teori Perkembangan Moral menurut Lawrence Kohlberg
Teori perkembangan yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukan bahwa
sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari
kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan
(Sunarto,2013:176). Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur proses
berpikir yang mendasari perilaku moral ( Moral Bahavior). Dalam perkembangannya
Kohlberg juga menyatakan adanya tahapan-tahapan yang berlangsung sama pada
setiap kebudayaan. Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi
rendahnya moral seseorang dari segi proses penalaran yang mendasarinya bukan
dari sikap moral. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan
dasar dari perilaku etis, mempunyai enam stadium perkembangan dengan tiga
tahapan yang teridentifikasi.
Kohlberg memberikan berbagai kasus dilema moral dengan tingkat
kompleksitas yang berbeda. Anak-anak yang menjadi subjeknya memberikan
pengertian, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks, atas beberapa kasus
perilaku. Dari hasil penelitiannya ini, Kohlberg membagi perkembangan moral
dalam 6 tahap. Berikut ini adalah tiga level perkembangan moral menurut
Kohlberg (Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat
memuat dua tahap perkembangan moral:
1. Tahap Moral Pre-konvesional
Pada tingkat
pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya
norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan
mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas
tindakan yang dilakukan. Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan
kekuatan fisik dari yang menerapkan norma-norma tersebut.
Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a.
Tahap Punishment and Obedience Orientation
Pada tahap ini,
secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu
tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa
melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan
konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.
b.
Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic
Orientation
Pada tahap ini,
suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi
kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain, serta tindakan tersebut tidak merugikan.
Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan timbal
balik dan sikap terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.
2. Tahap Tingkat Konvensional
Pada tingkat
perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok,
masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan
tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun
dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib
sosial yang berlaku.
Pada tingkat
ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib
sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif
antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada
tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a.
Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak
pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan,
membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Jadi, setiap
anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain untuk dapat dianggap
bermoral.
b.
Tahap Law and Order Orientation
Pada tahap ini,
pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga
upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai
tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu
otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya
tertib sosial yang ada.
3.
Tahap Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat
ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus
mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan
seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua
tahap perkembangan moral, yaitu:
a.
Tahap Social-Contract,
Legalistic Orientation
Tahap ini
merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan
yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan
hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan
telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini
menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap
tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat
memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan
dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau
aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi
masyarakat.
b.
Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang
tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau
aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi
oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip
tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup
prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.
Dalam teorinya, Kohlberg menolak konsep pendidikan nilai/karakter
tradisional yang berdasarkan pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan
seperti kejujuran, kesabaran, dan sebagainya yang menjadi landasan perilaku
moral. Konsep tersebut dinilai tidak membimbing siswa untuk memahami kebajikan
mana yang sungguh baik untuk diikuti. Oleh karena itu, Kohlberg mengajukan
pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klasifikasi nilai
yang bertolak dari asumsi bahwa tidak ada satu-satunya jawaban yang benar
terhadap suatu persoalan moral, tetapi di dalamnya ada nilai yang penting
sebagai dasar berpikir dan bertindak.
Kohlberg mengklaim bahwa teorinya (tentang perkembangan moral)
tidak hanya menjadi psikologi tetapi juga "filsafat moral". Teorinya
menyatakan tidak hanya bertindak dalam fakta "melebihkan tahap tertinggi
dari pertimbangan (moral) mereka secar keseluruhan", tetapi juga bahwa
tahap ini adalah "secara objektif dapat lebih baik atau lebih memadai"
daripada tahap sebelumnya "dengan kriteria moral yang pasti". Apakah kirteria-kriteria
itu? Kohlberg mengatakan bahwa kriteria tersebut mencakup kroteria diferensiasi
dan integrasi "formal". Di dalam tiap-tiap tahap hak dan kewajiban
menjadi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi. Contohnya, pada "Tahap
5" orang dipertimbangkan untuk mempunyai hak-hak alaminya bahwa masyarakat
seharusnya (ought to) menghormatinya. Sementara itu, hak-hak alami menjadi
terdiferensiasi dari pemberian hak-hak secara sosial. Kembali pada "Tahap
6", hak-hak yang orang miliki dengan sendirinya menciptakan kewajiban
dalam berhubungan dengan orang lain. Di sini hak dan kewajiban menjadi
"korelatif secara lengkap" (completely correlative) dan menjadi
"terintegrasi lebih baik" daripada tahap-tahap sebelumnya, di mana
kewajiban-kewajiban adalah "apa yang orang terikat perjanjian/kontrak
untuk memenuhi ketertiban supaya menghormati hak-hak yang orang lain
miliki" (Kneller, 1984: 111-112). Tetapi ketika sampai pada "Tahap
6" muncul pertanyaan "Mengapa
menjadi moral?" atau "Mengapa menjadi adil dalam suatu jagat yang
secara luas tidak adil?", "Tahap 6" Kohlberg ini tidak punya
jawaban riil. Hingga beberapa dekade Kohlberg hanya puas pada "Tahap
6" sebagai tahap tertinggi pertimbangan moral. Tetapi dalam beberapa
dekade setelah mengalami serangan kritik hebat, sebelum Kohlberg meninggal
dunia, akhirnya Kohlberg menemukan dimensi religius dalam teori perkembangan
moralnya. Kohlberg berupaya untuk menggunakan pertimbangan religius untuk
postulat bersifat metaforis "Tahap 7" sebagai jawaban untuk
masalah-masalah tak terpecahkan yang ditinggalkan oleh "Tahap 6 Kohlberg
Orientasi religius tidak merubah definisi prinsip-prinsip universal keadilan
moral "Tahap 6" tetapi mengintegrasikan prinsip-prinsip ini dengan
suatu perspektif di atas puncak makna kehidupan (life's ultimate meaning).
Menurut Kohlberg, "Tahap 7" bisa jadi "berisikan
'berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar', yaitu
keadilan sosial, dan memusatkan kepada masalah etika 'berikanlah kepada Allah
apa yang wajib kamu berikan kepada Allah', yaknitindakan pengorbanan cinta
serta persaudaraan umat manusia". Dengan begitu, menurut Kohlberg,
"Tahap 7" akan menjadi orientasi etika yang muncul dari perkembangan
dalam eksistensi atau pengalaman religius dan pemikiran daripada pengalaman
moral semata. (Lihat diskusi lebih mendalam tentang "Tahap 7" ini di
dalam Mathias, 1987: 47-48). Dari aspek ini, maka sudah tidak diragukan lagi
bahwa orientasi agama dalam perkembangan moral perlu menjadi kajian intensif
dalam pengembangan Pendidikan Moral di Indonesia di masa depan.
2.4
Faktor-Faktor Yang mempengaruhi perkembangan moral menurut kohlberg
Menurut Kohlberg (dalam Janssens, 1992), ada 3 faktor umum yang
memberikan kontribusi pada perkembangan penalaran moral yaitu :
a. Kesempatan pengambilan peran
Perkembangan
penalaran moral meningkat ketika seseorang terlibat dalam situasi yang
memungkinkan seseorang mengambil perspektif sosial seperti situasi dimana seseorang
sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan, kebutuhan, hak,
kewajiban, nilai dan standar orang lain.
b. Situasi moral
Setiap
lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak dan kewajiban yang fundamental
yang didistribusiakan dan melibatkan keputusan. Dalam beberapa lingkungan,
keputusan diambil sesuai dengan aturan, tradisi, hukum, atau figur otoritas
(tahap 1). Dalam lingkungan yang lain, keputusan didasarkan pada pertimbangan
pada system yang tersedia (tahap 4 atau lebih tinggi). Tahap penalaran moral
ditunjukkan oleh situasi yang menstimulasi orang untuk menunjukkan nilai moral
dan norma moral.
c. Konflik moral kognitif
Konflik moral
kognitif merupakan pertentangan penalaran moral seseorang dengan penalaran
orang lain. Dalam beberapa studi, subjek bertentangan dengan orang lain yang
mempunyai penalaran moral lebih tinggi maupun lebih rendah. Anak yang mengalami
pertentangan dengan orang lain yang memiliki penalaran moral yang lebih tinggi
menunjukkan tahap perkembangan moral yang lebih tinggi dari pada anak yang
berkonfrontasi dengan orang lain yang memiliki tahap penalaran moral yang sama
dengannya.
Interaksi antara orangtua dan anak dalam berbagai situasi
menunjukkan 3 faktor umum di atas. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penalaran
moral anak (Jansens, 1992). Kohlberg (dalam Janssens, 1992) memandang bahwa
pengaruh utama dari keluarga adalah pada diskusi antara orangtua dengan anak
mengenai nilai-nilai dan norma, dari pada pengalaman anak sendiri akan
disiplin, hukuman, dan hadiah dari orangtua. Kohlberg juga menyatakan bahwa
penalaran moral dipengaruhi oleh tahap perkembangan kognitif yang tinggi
(seperti pendidikan) dan pengalaman sosiomoral (Glover, 1997). Hal tersebut
dapat ditemui di lingkungan sekolah atau ranah pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas maka ada 5 faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan penalaran moral seseorang, yaitu kesempatan alih
peran, situasi moral, konflik moral kognitif, keluarga, dan pendidikan. Dalam
perkembangannya Kohlberg juga menyatakan adanya tahapan-tahapan yang berlangsung
sama pada setiap kebudayaan, diantaranya
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Moral adalah sikap dan perilaku
seseorang yang di dasari oleh norma-norma hokum yang berada di lingkungan
tempat dia hidup. Jadi seseorang dapat di katakana dapat memiliki moral adalah
ketika seseorang sudah hidup dengan
menaati hokum-hukum yang berlaku di tempat dia hidup. Sedangkan menurut
Lawrence Kohlberg , tahapan perkembangan
moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan
perkembangan penalaran moralnya. Kohlberg (dalam Glover, 1997), mendefinisikan
penalaran moral sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian
terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan.
Menurut Kohlberg (1981) penalaran moral adalah suatau pemikiran tentang masalah
moral. Pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan melakukan
suatu tindakan dalam situasi moral
Teori perkembangan yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukan bahwa
sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari
kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan, yaitu Tahap
Moral Pre-konvesional yang dibagi menjadi Tahap Punishment and Obedience Orientation dan Tahap
Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation, Tahap
Tingkat Konvensional yang
dibagi menjadi Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl
Orientation dan Tahap Law and Order Orientation, serta Tahap Tingkat Postkonvensional
yang dibagi menjadi Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation dan Tahap
Orientation of Universal Ethical Principles.
Teori Perkembangan kohlberg meliputi 5 faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan penalaran moral seseorang, yaitu kesempatan alih
peran, situasi moral, konflik moral kognitif, keluarga, dan pendidikan. Dalam
perkembangannya Kohlberg juga menyatakan adanya tahapan-tahapan yang
berlangsung sama pada setiap kebudayaan, diantaranya.
DAFTAR
PUSTAKA
Cahyono, C.H
& Suparyo, W. 1985. Tahap-Tahap
Perkembangan Moral. Malang: IKIP Malang.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Slavin, R.E. 2006. Educational
Psychology Theory and Practice. United States of America: Johns Hopkins University.
Sunarto. 2013. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta : Rineka cipta.
Syah, Muhibbin. 2004. Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Universitas
Negeri Yogyakarta. Dasar-Dasar Pengertian
Moral. (Online), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/DASAR%20PENGERTIAN%20MORAL.pdf). Diakses 10 September 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar