Kamis, 04 Juni 2020

Islam Normatif dan Historis, Pengertian, Pendekatan.

A.Pengertian Islam Normatif Normatif, dalam bahasa inggris “Norma” yang artinya norma, ajaran, atau acuan. Kata norma dalam Bahasa Indonesia berarti ukuran untuk menentukan sesuatu. Islam Normatif adalah Islam sebagai wahyu, Islam yang diwahyukan pada Nabi Muhammad SAW untuk kedamaian dunia dan akhirat. Islam Normatif adalah Islam yang benar, yaitu yang bersumber dari firman Allah SWT. Islam dikatakan benar adalah Islam yang bersumber pada Al-Quran dan As-Sunnah (Hadits). Islam Normatif adalah Islam berdimensi sakral yang bersifat mutlak dan universal, melebihi ruang dan waktu yang disebut dengan realitas keTuhanan. Bisa dikatakan, Islam Normatif memiliki tingkat mutlak. Berbentuk aspek tekstual Islam, yaitu Al-Quran dan dan Hadits yang absolut. Islam Normatif meliputi setiap ruang dan waktu dan akan tetap menjadi ideal. Islam Normatif memiliki berbagai tradisi kajian, yaitu : Telologi, Tafsir, Tasawuf, Filsafat, Fiqh.[1] 1. Tafsir : tradisi penjelasan dan pemaknaan kitab suci 2. Teologi : tradisi pemikiran tentang persoalan ketuhanan 3. Fiqh : tradisi pemikiran dalam bidang yurisprudensi (tata hukum) 4. Tasawuf : tradisi pemikiran dan laku dalam pendekatan diri pada Tuhan 5. Filsafat : tradisi pemikiran dalam bidang hakikat kenyataan, kebenaran dan kebaikan.[2] B. Pengertian Islam Historis Historis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna sejarah, kejadian yang ada hubunganya dengan masa lampau. Islam Historis adalah Islam yang dianut dan yang dipraktekkan kaum muslim di seluruh dunia, mulai dari masa Rasulullah hingga saat ini. Islam yang benar adalah Islam yang berpanutan Al-Qur’an dan Al-Hadist. Jika Islam yang benar, yaitu diajarkan Nabi Muhammad SAW disebut dengan Islam Normatif, maka Islam yang senyatanya ada di kalangan masyarakat inillah yang disebut Islam Historis. Jadi Islam Historis adalah Islam bersejarah atau yang terkait karena ruang dan waktu. Karena itu Islam Historis adalah Islam yang sebenarnya terjadi, yang diamalkan manusia atau masyarakat, terkait dengan konteks ruang dan waktu, kapan dan dimana suatu ajaran Islam diamalkan oleh suatu umat. Keanekaragaman Islam di kalangan masyarakat ini terjadi karena berbagai macam kondisi, yaitu terkait ruang dan waktu, dimana dan kapan Islam pelajari lalu diamalkan oleh masyarakat. Islam Historis muncul juga karena suatu pemahaman, yaitu pemahaman setiap individu dalam masyarakat tentang kajian Islam secara menyeluruh inilah yang disebut dengan hasil pemikiran Islam. Oleh karena itu, suatu pemahaman setiap individu tentang Islam, sekecil apapun itu, saat Islam yang mutlak telah masuk ke pikiran manusia, pemahaman inilah yang dimaksud dengan Islam Historis[3]. Dalam pemahaman kajian islam historis, tidak ada konsep atau hukum islam yang bersifat tetap semua bisa berubah sesuai dengan kondisi. Kaum historis memiliki pemahaman tentang hukum islam yang mana hukum islam itu adalah produk dari pemikiran ulama yang muncul karena konstruk social tertentu. Dalam kajian islam historis ditekankan aspek relitivitas pemahaman keagamaan. 1. Antropologi agama : disiplin yang mempelajari tingkah laku manusia beragama dalam hubungannya dengan kebudayaan, 2. Sosiologi agama : disiplin yang mempelajari sistem relasi sosial masyarakat dalam hubungannya dengan agama. 3. Psikologi agama : disiplin yang mempelajari aspek-aspek kejiwaan manusia dalam hubungannya dengan agama.[4] C. Pendekatan Islam Normatif Pendekatan islam normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka Ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lain.[5] Selain itu, pendekatan normatif juga merupakan suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran manusia. Dalam pendekatan teologis ini dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama misalnya, secara normatif pasti benar, menjujung nilai- nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai- nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran, dan saling menguntungkan. Untuk bidang pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan sebagainya. Demikian pula untuk kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik, dan sebagainya agama tampil sangat ideal dan yang dibangu berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan[6] Salah satu ciri pendekatan teologis dalam memahami agama adalah menggunakan cara berpikir dedukatif, yaitu , cara pikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, kaarena ajaran yang berasal dari tuhan sudah pasti benar. Sehingga, tidak perlu dipertanyakan kemabli, melainkan dari keyakinan yang selanjutnya di perkuat dengan dalil- dalil argumentasi. Pendekatan teologis tersebut menunjukkan adanya kekurangan yaitu bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran agama lain, dan sebagainya. Namun, kekurangan tersebut dapat diatasi dengan cara melengkapi dengan cara sosiologis.[7] Pendekatan teologis normatif mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah melalui pendekatan teologis normatif, seseorang memiliki sikap militansi dalam beragama, yaitu berpegang teguh pada keyakinannya sebagai yang benar tanpa memandang dan meremehkan agama lainnya. Sedangkan kekurangannya adalah bersifat eksklusif-dogmatis, tidak mengakui agama lain dan sebagainya. Sikap eksklusifisme teologis dalam memandang perbedaan dan pluralitas agama sebagaimana tersebut di atas merugikan diri sendiri dan yang lain, karena sikap yang semacam ini mempersempit bagi masuknya kebenaran baru yang bisa membuat hidup lebih lapang dan lebih kaya akan nuansa. Untuk itulah, umat islam seharusnya memahami islam tidak hanya menggunakan pendekatan teologis normatif saja, tetapi juga dengan menggunakan pendekatan- pendekatan yang lain, seperti pendekatan sosiologi, antropologi, filsafat, sejarah dan lain sebagainya.[8] D.Pendekatan Islam Historis Salah satu pendekatan yang digunakan untuk memahami gejala sosial keagamaan ialah pendekatan sejarah. Pendekatan ini cukup populer di kalangan para ahli di lingkungan Departemen Agama. Pendekatan ini mengansumsikan bahwa realitas sosial yang terjadi sekarang ini sebenarnya merupakan hasil proses sejarah yang terjadi sejak beberapa tahun, ratus tahun, bahkan ribuan tahun yang lalu. Pendekatan sejarah secara lebih teknis perlu dibedakan dengan penelitian sejarah. Penelitian sejarah tiada lain ialah upaya melakukan rekonstruksi terhadap fenomena masa lampau baik gejala keagamaan yang terkait dengan masalah politik, sosial, ekonomi dan budaya. Misalnya: bagaimana peran pesantren dan kiyai dalam melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda dalam Agresi Militer kedua (tahun 1948).[9] Pendekatan historis adalah pendekatan agama melalui ilmu sejarah. Munurut ilmu ini, segala peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peritiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya, dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Melalui pendekatan ini, seseorang di ajak menukik dari alam ide-alis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Pendekatan historis tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari sumber primer, yaitu si peneliti atau penulis secara langsung melakukan observasi atau penyaksian kejadia- kejadian yang dituliskan. Sedangkan data sekunder, diperoleh dari data sekunder yaitu peneliti melakukan penelitian melakukan penelitian dari hasil observasi orang lain yang satu kali (atau lebih) telah lepas dari kejadian aslinya. Di antara kedua kejadian tersebut, sumber-sumber primer dipandang memiliki otoritas sebagi bukti tangan pertama diberi prioritas dalam mengumpulkan data. Walupun pendekatan historis mirip dengan penelaahan kepustakaan yang mendahului bentuk- bentuk rancangan lain, namun pendekatan historis lebuh tuntas mencari informasi dari sumber yang luas.[10] Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-qur’an, ia sampai pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnyakandungan al-qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian yang kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan. Dalam bagian pertama berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah alqur’an yang merujuk kepada pengertian- pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan legal, dan ajaran- ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah- istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan itu mungkin diangkat dari konsep- konsep yang telah di kenal oleh masyarakat Arab pada waktu Alqur’an diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah- istilah baru yang di bentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep regilius yang ingin di perkenalkannya. Yang jelas, istilah- istilah itu kemudian diintegrasi ke dalam pandangan dunia Alquran, dan dengan demikian lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.[11] Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perilaku manusia. Sistematisasi langkah- langkah pendekatan/metode sejarah sebagai berikut: 1.Pengumpulan obyek yang berasal dari suatu zaman dan pengumpulan bahan- bahan tertulis dan lisan yang relevan (heuristik) 2.Menyingkirkan bahan-bahan ( atau bagian-bagian dari padanya ) yang tidak ontentik ( kritik atau verifikasi ). 3.Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan bahan-bahan yang otentik (aufassung atau interprestasi) 4.Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya berdasarkan kisah atau penyajian yang berarti.[12] Melalui pendekatan sejarah ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang memahaminya. Seseorang yang ingin memahami Alquran secara benar misalanya, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya Alquran atau kejadian- kejadian yang mengiringi turunnya Alquran yang selanjutnya di sebut sebagai Ilmu Asbab al-Nuzul ( ilmu tentang sebab- sebab turunnya ayat al-quran) yang pada intinya berisi sejarah turunnya Alquran. Dengan ilmu asbabun nuzul ini seseorang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujuk untuk untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.[13] Sejarah memang berhubungan dengan peristiwa- peristiwa masa lalu, namun peristiwa masa lalu tersebut hanya berarti dapat dipahami dari sudut tinjauaan masa kini, dan ahli sejarah dapat benar-benar memahami peritiwa dan kejadian masa kini hanya dengan petunjuk- petujuk dari peristiwa dan kejadian dari masa lalu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dengan mempelajari masa lalu, orang dapat memahami masa kininya, dan dengan memahami dan menyadari keadaan masa kini, maka orang dapat menggambarkan masa depannya. Itilah yang di maksud dengan perspekutif sejarah. Di dalam studi islam, permasalahan atau seluk-beluk dari ajaran agama islam dan pelaksanaan serta perkembangannya dapat ditinjau dan dianalisis dalam kerangka perspektif kesejarahan yang demikian itu.[14] E. Pengelompokan Islam Normatif dan Historis Pengelompokkan Islam normatif dan Islam historis menurut Nasr Hamid Abu Zaid mengelompokkan menjadi tiga wilayah (domain). Pertama, wilayah teks asli Islam (the original text of Islam), yaitu Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad yang otentik. Kedua, pemikiran Islam merupakan ragam menafsirkan terhadap teks asli Islam (Al-qur’an dan sunnah nabi Muhammad SAW). Dapat pula disebut hasil ijtihad terhadap teks asli Islam,seperti tafsir dan fikih. Secara rasional ijtihad dibenarkan, sebab ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah itu tidak semua terinci, bahkan sebagian masih bersifat global yang membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Di samping permasalahan kehidupan selalu berkembang terus, sedangkan secara tegas permasalahan yang timbul itu belum/tidak disinggung. Karena itulah diperbolehkan berijtihad, meski masih harus tetap bersandar kepada kedua sumber utamanya dan sejauh dapat memenuhi persyaratan. Dalam kelompok ini dapat di temukan empat pokok cabang : (1) hukum/ fikih,(2) teologi,(3) filsafat, (4) tasawuf. Hasil ijtihad dalam bidang hukum muncul dalam bentuk : (1) fikih, (2) fatwa, (3) yurisprudensi (kumpulan putusan hakim), (4) kodikfikkasi/unifikasi, yang muncul dalam bentuk Undang- Undang dan komplikasi. Ketiga, praktek yang dilakukan kaum muslim. Praktek ini muncul dalam berbagai macam dan bentuk sesuai dengan latar belakang sosial (konteks). Contohnya : praktek sholat muslim di Pakistan yang tidak meletakkan tangan di dada. Contohnya lainnya praktek duduk miring ketika tahiyat akhir bagi muslim Indonesia, sementara muslim di tempat/ negara lain tidak melakukannya. Sementara Abdullah Saeid menyebut tiga tingkatan pula, tetapi dengan formulasi yang berbeda sebagai berikut : Tingkatan pertama , adalah nilai pokok/dasar/asas, kepercayaan, ideal dan institusi-institusi. Tingkatan kedua adalah penafsiran terhadap nilai dasar tersebut, agar nilai-nilai dasar tersebut dapat dilaksanakan/dipraktekkan. Tingkatan ketiga manifestasi atau pratek berdasarkan pada nilai-nilai dasar tersebut yang berbeda antara satu negara dengan negara lain, bahkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Perbedaan tejadi karena perbedaan penafsiran dan perbedaan konteks dan budaya. Pada level teks, sebagaimana telah ditulis sebelumnya, Islam didefinisikan sebagai wahyu. Pada dataran ini, Islam identik dengan nash wahyu atau teks yang ada dalam al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad. Pada masa pewahyuannya memakan waktu kurang lebih 23 tahun. Pada teks ini Islam adalah nash yang menurut hemat penulis, sesuai dengan pendapat sejumlah ilmuwan (ulama) dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni: 1. Nash prinsip atau normatif-universal, dan 2. Nash praktis-temporal Nash kelompok pertama, nash prinsip atau normatif-universal, merupakan prinsip-prinsip yang dalam aplikasinya sebagian telah diformatkan dalam bentuk nash praktis di masa pewahyuan ketika nabi masih hidup. Adapun nash praktis-temporal, sebagian ilmuwan menyebutnya nash konstektual, adalah nash yang turun (diwahyukan) untuk menjawab secara langsung (respon) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat muslim Arab ketika pewahyuan. Pada kelompok ini pula Islam dapat menjadi fenomena sosial atau Islam aplikatif atau Islam praktis. Dengan penjelasan di atas tadi dapat ditegaskan, syari’ah sebagai the original text mempunyai karakter mutlak dan absolut, tidak berubah-ubah. Sementara fiqh sebagai hasil pemahaman terhadap the original text mempunyai sifat nisbi/relatif/zanni, dapat berubah sesuai dengan perubahan konteks;konteks zaman; konteks sosial; konteks tempat dan konteks lain-lain. Sementara dengan menggunakan teori Islam pada level teori dan Islam pada level praktek dapat dijelaskan demikian. Untuk menjelaskan posisi syari’at pada level praktek perlu dianalogkan dengan posisi nash, baik al-Qur’an maupun sunnah nabi Muhammad SAW.Dapat disebutkan bahwa pada prinsipnya nash tersebut merupakan respon terhadap masalah yang dihadapi masyarakat arab di masa pewahyuan. Kira-kira demikianlah posisi Islam yang kita formatkan sekarang untuk merespon persoalan yang kita hadapi kini dan di sini. Perbedaan antara nash dan format yang kita rumuskan adalah, bahwa nash diwahyukan pada nabi Muhammad, sementara format yang kita rumuskan sekarang adalah format yang dilandaskan pada nash tersebut. Hal ini harus kita lakukan, sebab persoalan selalu berkembang dan berjalan maju, sementara wahyu sudah berhenti dengan meninggalnya nabi Muhammad SAW.[15] Komentar Postingan populer dari blog ini MACAM-MACAM METODOLOGI MEMAHAMI ISLAM, TAFSIR, HADIST, FILSAFAT, TASAWUF DAN PARA AHLI Januari 06, 2018 A.Metodologi Ulumul Tafsir Tafsirberasal dari bahasa Arab, fasara, yafsiru, fasran yang berarti menerangkannya.[1]Selain itu tafsir dapat pula berarti al-idlah wa al-tabyin, yaitu penjelasan dan keterangan. a.Pengertian tafsir menurut pakar Alquran: §Al-jurjani mengatakan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab al-nuzulnya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. §Imam Al-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan Alquran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. §Abu Hayan, sebagaiman dikutip Al-Auyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang di dalamnya pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal Alquran disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. §Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui k… BACA SELENGKAPNYA SUMBER DAN KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM Januari 06, 2018 A.Ajaran Agama IslamSumber Ajaran Islam terdapat dalam pembahasan : 1.Al-Qur’an Berikurt ini beberapa pendapat mengenai pengertian Al-Qur’an: a.Kata benda (mashdar) dari kata kerja (fi’il) yang berarti membaca/bacaan. Al-Qur’an dari kata qarana yang berarti menggabungkan. Dan adapun pendapat lain menyatakan kata Al -Qur’an dari kata al-qar’u yang berarti himpunan. b.Al-Qur’an merupakan nama diri yang diberikan oleh Allah kepada kitab suci yang diturunkan kepada Muhammada SAW. c.Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul terakhir melalui malaikat Jibril yang tertulis dalam mushaf dan disampaikan kepada kita dengan jalan tawatur (mutawatir). d.Al-Qur’an adalah kalam yang mengandung mu’ji zat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis didalam mushaf, dinukilkan dengan cara mutawatir, dan membacanya adalah ibadah. e.Al-Qur’an adalah kitab suci umat yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Dari beberapa defennisi al-Qur’an diatas, menunjukan sifat-sifatal-…

1 komentar:

Islam Normatif dan Historis, Pengertian, Pendekatan.

A.Pengertian Islam Normatif Normatif, dalam bahasa inggris “Norma” yang artinya norma, ajaran, atau acuan. Kata norma dalam Bahasa Indonesi...